Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Rocky Gerung: Sublimasi, Absurditas, dan Fanatisme Buta

Kamis, 17 April 2025 11:00 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Matinya Nalar Publik |
Iklan

Ketiga konsep ini—sublimasi, absurditas, dan fanatisme buta—memiliki keterkaitan yang kompleks dan mencerminkan berbagai dimensi

Galaunya Rocky Gerung: Dulu Ngaku Berteman dengan Gibran, Kini Tidak

 

Konsep-konsep yang ada, berada pada pengkaitan dengan tujuan membentuk suatu narasi kompleks tentang dinamika kekuasaan, kesadaran sosial, dan memori kolektif dalam ruang publik kontemporer.

Hipokratik, mengacu pada sumpah medis yang menekankan prinsip "primum non nocere" (pertama-tama, jangan merugikan), dalam konteks sosial-politik dapat dipahami sebagai tanggung jawab etis para intelektual dan pemikir publik. Ketika diperhadapkan dengan patologi sosial, seorang intelektual "hipokratik" tidak hanya mendiagnosis masalah tetapi juga berusaha untuk tidak memperburuk kondisi dengan simplifikasi atau justifikasi yang berbahaya.

Kesadaran palsu, konsep yang berasal dari tradisi Marxis, menggambarkan kondisi di mana masyarakat memiliki pemahaman yang terdistorsi tentang realitas sosial-ekonomi mereka sendiri. Dalam kesadaran palsu, struktur eksploitasi dan dominasi dinaturalisasi dan dianggap sebagai keniscayaan, bukan sebagai konstruksi sosial yang bisa diubah. Hal ini beroperasi melalui berbagai mekanisme ideologis yang menyembunyikan relasi kekuasaan yang sesungguhnya.

Gerilya laten perlawanan merujuk pada bentuk-bentuk resistensi yang tidak selalu eksplisit atau terang-terangan, tetapi beroperasi di bawah permukaan, seringkali melalui kode-kode budaya, bahasa terselubung, atau praktik sehari-hari yang menantang narasi dominan. James C. Scott menyebut ini sebagai "senjata kaum lemah"—bentuk resistensi yang tidak selalu terlihat tetapi memiliki potensi transformatif jangka panjang.

Runtuhnya nalar publik mencerminkan kondisi di mana ruang diskursif yang diperlukan untuk deliberasi rasional dan kritis tererosi oleh polarisasi, simplifikasi, dan manipulasi informasi. Ketika nalar publik runtuh, perdebatan tidak lagi bertujuan untuk mencapai pemahaman bersama atau konsensus rasional, tetapi menjadi pertarungan retorika dan afirmasi identitas.

Terhapusnya dosa sejarah terjadi ketika peristiwa-peristiwa traumatis atau kejahatan masa lalu dihapus dari memori kolektif, baik melalui revisionisme resmi, penolakan sistematis, atau amnesia sosial yang disengaja. Penghapusan ini menciptakan discontinuity dalam narasi historis, menghalangi proses pembelajaran kolektif dan rekonsiliasi.

Keterkaitan konsep-konsep ini menggambarkan kondisi di mana nalar publik yang runtuh membuat masyarakat rentan terhadap kesadaran palsu, sementara dosa sejarah yang terhapus menghilangkan konteks penting untuk memahami kondisi sosial saat ini. Dalam situasi ini, gerilya laten perlawanan menjadi respons terhadap mekanisme dominasi, sementara pendekatan hipokratik menuntut intelektual untuk mendiagnosis dengan hati-hati dan bertanggung jawab.

Tantangan utama dalam konteks ini adalah bagaimana memulihkan nalar publik yang memungkinkan pemeriksaan kritis terhadap kesadaran palsu, mengakui dosa sejarah tanpa jatuh dalam determinisme historis, dan memahami bentuk-bentuk resistensi laten sebagai bagian dari proses demokratisasi yang terus berlangsung. Hal ini membutuhkan komitmen pada etika diskursus dan keberanian untuk menghadapi aspek-aspek traumatis dari sejarah kolektif.

Gambar Background Orang Dungu, Vektor dan File PSD untuk Unduh Gratis | Pngtree

 

Ketiga konsep ini—sublimasi, absurditas, dan fanatisme buta—memiliki keterkaitan yang kompleks dan mencerminkan berbagai dimensi pengalaman manusia dalam menyikapi realitas sosial dan eksistensial.

Sublimasi, dalam pengertian psikoanalitik Freudian, merupakan mekanisme di mana energi psikis yang berasal dari dorongan-dorongan primitif (libido) dialihkan ke aktivitas-aktivitas yang diterima secara sosial dan kultural. Ini adalah proses transformatif di mana impuls yang potensial destruktif dikonversi menjadi kreativitas, intelektualitas, atau aktivisme sosial. Dalam konteks sosio-politik, sublimasi dapat dipahami sebagai pengalihan energi konflik dan frustrasi menjadi bentuk-bentuk ekspresi yang konstruktif dan bermakna.

25 Kata-Kata Bijak Mao Zedong, Bapak Pendiri Republik Rakyat China

Absurditas, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh pemikir eksistensialis seperti Albert Camus, merujuk pada ketidakbermagnaan fundamental yang dirasakan manusia dalam menghadapi alam semesta yang dingin dan tak acuh. Ini adalah kesadaran akan ketidakselarasan antara hasrat manusia akan makna dan kejelasan dengan dunia yang tampak tidak menawarkan keduanya. Dalam ruang sosial-politik, absurditas tercermin dalam paradoks institusi-institusi yang diciptakan untuk meningkatkan kehidupan manusia namun justru seringkali memperburuknya.

Fanatisme buta mewakili respons terhadap kompleksitas dan ketidakpastian dunia melalui pelarian ke dalam keyakinan yang rigid dan tidak kritis. Ini adalah kondisi di mana individu menolak ambiguitas dan kerumitan realitas dengan memeluk secara total suatu sistem keyakinan yang menawarkan kepastian absolut. Fanatik buta tidak hanya menolak mengakui kemungkinan kesalahan dalam pandangannya, tetapi juga menganggap pandangan berbeda sebagai ancaman eksistensial yang harus dieliminasi.

Ketiga konsep ini saling berinteraksi dalam dinamika kehidupan sosial-politik. Ketika menghadapi absurditas eksistensial, individu memiliki beberapa pilihan respons: sublimasi yang konstruktif, yang mengakui ketegangan dasar dalam kondisi manusia namun berusaha mentransformasi energi psikis menjadi kreasi bermakna; atau melarikan diri ke dalam fanatisme buta yang menawarkan kepastian ilusi dengan mengorbankan kompleksitas dan kebenaran.

Dalam konteks masyarakat kontemporer, fanatisme buta seringkali muncul sebagai reaksi terhadap kompleksitas modernitas dan globalisasi, menawarkan narasi sederhana yang mereduksi kerumitan dunia menjadi struktur dikotomis antara "kita" dan "mereka." Hal ini diamplifikasi oleh media sosial dan algoritma yang cenderung menciptakan ruang gema dan memperkuat polarisasi.

Sublimasi, sebagai alternatif terhadap fanatisme, tidak menolak kenyataan absurd tetapi mengakuinya sambil tetap mengupayakan makna dalam keterbatasan kondisi manusia. Dalam arena sosial-politik, ini tercermin dalam aktivisme yang berpijak pada realisme tentang keterbatasan manusia namun tetap berkomitmen pada perjuangan untuk keadilan dan kebenaran.

Menghadapi kompleksitas dunia kontemporer adalah bagaimana mengembangkan kapasitas untuk toleransi terhadap ambiguitas dan ketidakpastian tanpa jatuh ke dalam nihilisme atau relativisme moral. Ini berarti mengembangkan apa yang mungkin dapat disebut sebagai "sublimasi kritis"—transformasi energi dari konflik dan kebingungan menjadi pencarian kebenaran yang tetap terbuka terhadap revisi dan dialog, menghindari baik fanatisme buta maupun kepasrahan pada absurditas.

Politik Bipolar dan Matinya Nalar Publik

Politik bipolaritas menyajikan suatu paradoks yang berimplikasi serius pada kualitas nalar publik. Fenomena ini dapat dipahami sebagai kondisi di mana wacana sosial-politik terbelah menjadi dua kutub ekstrem yang saling berseberangan, tanpa ruang yang cukup untuk posisi-posisi moderat atau nuansa pemikiran.

Dalam konteks sosial-politik kontemporer, polarisasi semacam ini sering kali menciptakan dikotomi-dikotomi sederhana: pro-kontra, kiri-kanan, liberal-konservatif, atau nasionalis-globalis. Kategorisasi biner ini pada gilirannya menciptakan apa yang dapat disebut sebagai "matinya nalar publik" — suatu kondisi di mana kapasitas kolektif untuk melakukan deliberasi rasional dan refleksi kritis menjadi terhambat.

Nalar publik, dalam pengertian Habermasian, mensyaratkan ruang diskursif di mana berbagai argumen dapat dipertukarkan dan diuji berdasarkan kekuatan logika dan bukti, bukan berdasarkan loyalitas kelompok atau sentimen identitas. Namun, dalam kondisi bipolar, nalar cenderung digantikan oleh afirmasi identitas dan penolakan terhadap "yang lain." Argumentasi tidak lagi ditujukan untuk mencari kebenaran atau solusi terbaik, melainkan untuk memperkuat posisi yang sudah ada dan mendelegitimasi posisi lawan.

Beberapa faktor yang berkontribusi pada fenomena bipolaritas dan matinya nalar publik antara lain:

Pertama, algoritma media sosial yang cenderung menciptakan ruang gema (echo chambers) di mana orang hanya terpapar pada pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri. Hal ini memperkuat keyakinan yang sudah ada dan mengurangi kesempatan untuk berhadapan dengan perspektif yang berbeda.

Kedua, politisasi berlebihan terhadap berbagai isu yang seharusnya dibahas berdasarkan bukti dan analisis rasional. Ketika semua isu menjadi medan pertarungan identitas politik, kapasitas untuk diskusi yang berorientasi pada solusi menjadi tereduksi.

Ketiga, melemahnya institusi-institusi yang seharusnya menjadi mediator dan fasilitator diskursus publik yang sehat, seperti media, akademisi, dan lembaga think tank yang independen.

Implikasi dari matinya nalar publik sangat signifikan. Pada level praktis, hal ini menyulitkan proses pengambilan kebijakan yang berbasis bukti dan konsensus. Pada level yang lebih mendasar, fenomena ini mengancam fondasi demokrasi deliberatif yang bergantung pada kemampuan warga untuk terlibat dalam diskursus rasional tentang kepentingan umum.

Untuk menghidupkan kembali nalar publik, diperlukan upaya kolektif untuk menciptakan ruang-ruang diskursif yang memungkinkan pertukaran ide yang didasarkan pada prinsip-prinsip rasionalitas dan saling pengakuan. Ini berarti mengembangkan kapasitas untuk mendengarkan perspektif yang berbeda, mengakui kompleksitas persoalan, dan berkomitmen pada proses pencarian kebenaran yang tidak diselesaikan melalui pembelahan bipolar.

Sebagaimana diungkapkan dalam pemikiran kritis kontemporer, nalar publik yang hidup membutuhkan kesediaan untuk mengakui bahwa kebenaran seringkali tidak berada pada salah satu kutub, melainkan muncul dari dialog dan pengujian ide yang terus-menerus. Hanya dengan mengatasi bipolaritas dan menghidupkan kembali nalar publik, demokrasi substantif dapat diwujudkan.

Rocky Gerung Adalah Gejala Kritik Yang Jika Tidak Segera Ditangani Berubah Menjadi Krisis

Pemikiran Rocky Gerung 'The Use Of Publik Reason" adalah menganalogikan strukutur kontradiksi negara sebagai benda namun, memiliki reasoning, sebagai "paradoks" yang dapat dikatakan sebagai berlebihan, terutama tentang kritik sebagai gejala yang dapat berevolusi menjadi krisis menawarkan perspektif menarik tentang fungsi kritik dalam dinamika sosial-politik. Konsep ini pada dasarnya melihat kritik sebagai mekanisme peringatan dini dalam tubuh sosial.

Dalam pandangan Gerung, kritik sosial berfungsi seperti gejala dalam diagnosa medis—sebagai indikator bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan dalam sistem. Ketika kritik muncul dalam ruang publik, hal itu menandakan adanya ketidakselarasan atau masalah dalam kebijakan, struktur kekuasaan, atau narasi dominan yang perlu direspon.

Analoginya cukup jelas: sebagaimana gejala sakit dalam tubuh yang diabaikan dapat berkembang menjadi penyakit serius, kritik yang tidak didengar atau ditanggapi dengan tepat oleh penguasa berpotensi bertransformasi menjadi krisis sosial-politik yang lebih kompleks. Kritik, dalam hal ini, adalah bentuk komunikasi rasional yang memberi kesempatan bagi koreksi dan perbaikan sebelum masalah menjadi terlalu besar.

Sejarah Partai Komunis Indonesia – Idsejarah

Yang menarik dari pemikiran Gerung ? adalah bagaimana ia menempatkan kritik dalam kerangka epistemologis yang lebih luas. Baginya, kritik bukan sekadar oposisi atau penolakan, melainkan bagian dari proses pencarian kebenaran dalam ruang publik. Ketika kritik ditekan atau diabaikan, bukan hanya masalah spesifik yang tidak terselesaikan, tetapi juga mekanisme sosial untuk menemukan kebenaran menjadi terhambat. Tapi sebagai catatan bahwa ruang publik bukanlah mekanisme hukum. 

Dalam konteks Indonesia kontemporer, terkait kedudukan hukum dalam terminologi filsafat sosial, bahwa, perspektif ini menggarisbawahi pentingnya menjaga ruang bagi kritik sebagai komponen vital dari masyarakat demokratis yang sehat—bukan sebagai ancaman yang perlu dibungkam, melainkan sebagai mekanisme koreksi yang esensial untuk mencegah krisis yang lebih luas. Yang sebenarnya, menyalahi kontruksi teoritik keberadaan lebaga dan intuisi formal dalam akomodasi dan fasilitator kepentingan-kepentingan dari bentuk arus sosial.

Ada Dokumen Bukti PKI Ingin Dirikan Negara Komunis Indonesia – Sumsel Update

Konsep "Dungu" dalam pemikiran Rocky Gerung tampaknya berfungsi sebagai bentuk kritik yang bertindak seperti antioksidan atau anti-serum terhadap rigiditas ideologis dalam wacana publik. Ini merupakan pendekatan unik yang menegasikan dan sekaligus mengejawantahkan esensi serta substansi pengetahuan.

Jika dianalisis lebih dalam, konsep ini kemungkinan merujuk pada strategi diskursif di mana "kedunguan" yang disengaja atau sikap pura-pura tidak tahu digunakan sebagai alat untuk membongkar kebenaran-kebenaran yang diterima begitu saja (taken for granted). Mirip dengan metode Sokrates yang berpura-pura tidak tahu untuk membongkar inkonsistensi dalam pemikiran lawan bicaranya.

Dalam konteks ini, "Dungu" bukan berarti benar-benar tidak cerdas, melainkan sikap menolak untuk menerima dogma dan kebenaran ideologis tanpa pengujian kritis. Sementara itu tidak ada keyakinan ideologis yang bisa di uji nalar karena tidak bersumber dari kontruksi nalar. Ini adalah bentuk perlawanan epistemologis—menantang struktur pengetahuan yang mapan dan mengundang pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang asumsi-asumsi kita.

Sebagai "anti-serum ideologis," konsep ini berfungsi untuk menetralkan pengaruh ideologi yang terlalu kaku atau dogmatis. Seperti antioksidan yang melindungi sel-sel tubuh dari kerusakan, kritik model "Dungu" melindungi ruang publik dari kesimpulan-kesimpulan ideologis yang prematur dan tidak terbuka terhadap dialog.

Dalam tradisi filsafat, pendekatan ini mungkin sejalan dengan apa yang disebut "ketidaktahuan Sokratik" atau bahkan aspek-aspek dari dekonstruksi Derrida—strategi yang bertujuan membongkar struktur pengetahuan untuk menemukan kontradiksi-kontradiksi internal yang seringkali tersembunyi di balik kepastian-kepastian ideologis.

Mengenal Keledai, Hewan Domestik yang Dijulukki sebagai Hewan Dungu - sebab sepintar apapun hewan bukanlah masnusia - Semua Halaman - Kids

Mari kita mengangkat poin yang sangat menarik tentang paradoks yang melekat dalam konsep "Dungu" sebagai sikap kritis. Memang, terdapat ketegangan mendasar dalam upaya "menguji secara kritis" keyakinan ideologis yang pada dasarnya tidak bersumber dari konstruksi nalar.

Keyakinan ideologis cenderung bersifat aksiomatis—diterima sebagai kebenaran dasar yang tidak perlu pembuktian lebih lanjut. Ideologi seringkali beroperasi pada tingkat pra-rasional atau meta-rasional, memberikan kerangka interpretasi yang justru membentuk bagaimana nalar itu sendiri bekerja. Dalam pengertian ini, ideologi bukanlah objek yang bisa diuji oleh nalar, melainkan lens atau prisma yang melaluinya nalar beroperasi.

Inilah yang membuat posisi "Dungu" menjadi menarik sebagai strategi epistemologis. "Dungu" dalam pengertian ini bukanlah upaya naif untuk menguji secara rasional apa yang pada dasarnya non-rasional, melainkan suatu bentuk pengambilan jarak (distansiasi) dari kerangka ideologis itu sendiri. Ini adalah semacam strategic naivety—naivitas yang disengaja untuk melangkah keluar dari orbit gravitasi sistem keyakinan tertentu.

Ketika seseorang mengadopsi posisi "Dungu", mereka tidak sekadar menantang konten spesifik dari suatu keyakinan ideologis, tetapi lebih fundamental lagi, mereka menantang otoritas dan legitimasi dari struktur ideologis itu sendiri. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dianggap "terlalu naif" atau "terlalu mendasar" dalam kerangka pemikiran dominan, dan dengan demikian membuka celah dalam arsitektur epistemik yang terlihat solid.

Sebagaimana dikatakan Slavoj Žižek, ideologi paling efektif ketika kita tidak menyadari bahwa kita sedang beroperasi di dalamnya. Posisi "Dungu" dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya untuk menciptakan kesadaran tentang kerangka ideologis yang tak terlihat ini—bukan dengan mengkritiknya dari posisi eksternal yang objektif (yang mungkin tidak ada), melainkan dengan berpura-pura tidak memahami aturan main yang diam-diam disepakati.

Inilah bentuk perlawanan epistemologis yang mungkin lebih radikal daripada kritik langsung—bukan melawan keyakinan spesifik dalam sistem, melainkan menantang legitimasi sistem itu sendiri dengan menolak untuk bermain sesuai aturannya.

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler

Artikel Terbaru

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terkini di Analisis

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Analisis

Lihat semua